6 Oktober adalah hari libur nasional bagi bangsa Mesir. 6 Oktober diperingati sebagai hari kemenangan Mesir melawan Israel dalam perang Oktober 1973. Pada hari itu, karena kuliah libur kami bermaksud jalan-jalan ke Port Said (dalam bahasa Arab dilafalkan Bur Sa’id). Port Said adalah sebuah kota pelabuhan yang terletak di timur laut Mesir tepatnya di Laut Mediterania. Di kota ini terdapat pelabuhan internasional yang dinamai sama dengan kotanya. Pelabuhan ini menghubungkan Laut Mediterania dengan Laut Merah melalui Terusan Suez. selain terdapat pelabuhan besar di kota ini juga terdapat pantai yang menarik untuk dikunjungi.

Stasiun Ismailiyah

Port Said dibangun pada tahun 1860 oleh Khediv Ismail, penguasa Mesir dibawah kendali Turki Utsmani. Menurut sejarah, di sinilah Canal Suez pertama kali digali oleh seorang arsitek Perancis, Ferdinand de Leseps. Canal Suez dibuka pada 17 November 1869 untuk pelayaran internasional.

Kami berangkat menuju Port Said menumpang kereta api dari Stasiun Ismailiyah. Tiket dari Ismailiyah ke Port Said dijual dengan harga 4,5 EGP atau sekitar Rp 7500 dengan waktu tempuh 1, 20 jam. Jangan kira kereta api di Mesir senyaman kereta di Indonesia. Kalau di tanah air, kereta ekonomi jarak jauh paling murahpun sudah bersih ber-AC. Kereta yang kami tumpangi di Mesir jauh dari semua itu. Keretanya mirip kereta di Indonesia tahun 60-an. Berjalan di gurun sahara, tidak ada AC, kursinya sekeras besi, pedagang hilir mudik di dalam gerbong dan bau kurang sedap tercium di mana-mana. Lengkap sudah penderitaan kami (alay :D).

Pinggiran kota, padang pasir, perkebunan mangga, korma,  atau anggur adalah pemandangan yang bisa dilihat dari dalam kereta. Kereta kemudian melaju di tepian Terusan Suez. Terusan paing terkenal di dunia. Tampak kapal-kapal besar dengan berbagai macam bendera melaju pelan di atas permukaan canal. Ada yang berbendara Cina, Uni Emirat Arab, Qatar, dan negera-negara lain di dunia. Tampak kapal Cina yang paling besar. Mungkin sekitar setengah perjalanan kereta melawati tepian Canal Suez berjalan beriringan dengan laju kapal-kapal besar.

Di dalam kereta

Sepanjang canal dijaga ketat oleh tentara. Melihat tentara di sepanjang canal mengingatkan saya pada masa lalu canal ini. Yaitu ketika canal ini dan tanah yang diseberangnya-Sinai- dikuasai Israel. Tahun 1973 adalah perang besar yang dialncarkan Mesir untuk merebut Sinai. Dan Canal Suez ini adalah saksinya. Saat itu tentara Mesir melancarkan serangan dengan menyebrangi canal ini. Pada perang yang disebut Perang Oktober ini pasukan Mesir berhasil merebut kembali Semenanjung Sinai yang beberapa tahun berada dalam cengkraman Israel. Inilah yang kemudian diperingati sebagi hari Intasharul Uktubar Al-Majid (kemenangan Oktober yang dibanggakan) yang jatuh pada tanggal 6 Oktober.

Terusan Suez kini menjadi dua jalur. Satu jalur untuk kapal ke arah laut Merah, dan satu jalur lagi untuk arah sebaliknya. Jdi tidak sistem buka tutup seperti dulu lagi. Hingga saat ini penggalian New Suez Canal (Qanat Suwais Al Jadidah) masih berlangsung dan gencar dipromosikan. Pemerintah memilih slogan “Qanatu Suwais Min Ummi Dunya Likulli Dunya”, Canal Suez dari Ibu Dunia untuk seluruh dunia.

***

Kami tiba di stasiun Port Said sekitar pukul 13:15. Stasiun Port Said merupakan stasiun buntu. Jadi tidak tidak ada sambungan ke kota lain selain ke Ismailiyah. Selanjutnya kami shalat zuhur di sebuah masjid yang tidak jauh dari stasiun. Port Said tampak lebih bersih dan tertata. Masyarakatnya sudah banyak mengenal wajah-wajah Indonesia. Ketika melihat dan berpapasan dengan kami mereka lansung menyapa “Apa kaba” (tanpa R). Padahal biasanya kalo di kota-kota kecil di Mesir kami dianggap orang Cina. Maka tak heran jika kami sering dipanggil nihow. Tapi ketika mereka tahu kami orang Indonesia mereka langsung bilang Masya Allah, Indonesia jayid. Ini tidak berlaku di Port Said. Sebagai kota wisata dan pelabuhan internasional warga Port Said mungkin sudah terbiasa melihat wajah asing termasuk Indonesia.

Tujuan kami di Port Said adalah pantai. Tapi sebelum itu kami jalan-jalan dulu di pusat kota sambil cari makanan. Di sebuah sudut kota kami menemukan kedai makan yang menyediakan rupa-rupa makanan. Kebanyakan sandwich. Harganya cukup murah, berkisar antara 2-samai 15 EGP. Kebanyakan dari kami membeli Thamiya bil Baidh, roti isi telur dan sayuran. Banyak pula yang beli nasi ayam. Nasi ayam harganya 15 EGP. Isinya nasi lemak, kentang goreng sama ayam panggang1/4[1]. Karena porsinya terlalu besar, maka satu porsi untuk dua orang. Selain nggak mubazir, juga bisa ngirit. Semua makanan dibungkus untuk dimakan nanti di pantai.

Salah satu pantai di Port Said

Pantai Port Said terletak tidak jauh dari pelabuhan. Pantainya panjang dan cukup bersih. Pintu masuk ke pantai dijaga tentara angkatan laut. Mereka kelihatan sangar. Tapi ketika kami memberinya salam dan tahu kami dari Indonesia mereka jadi ramah. Mereka malah ngajak ngobrol. Mereka tampak senang saat berkenalan dengan kami. Kesan tentara Mesir yang sangar dan tidak bersahabat hilang saat itu.

Kami berjalan di tepi pantai sembari menikmati deburan ombak Mediterania. Di tengah laut tampak kapal-kapal sedang berlayar. Sejak dahulu kala laut yang ada dihadapanku merupakan tempat lalu lintasnya peradaban dunia. Peristiwa peristiwa besar dan bersejarah banyak terjadi di laut ini. Peradaban-peradaban tua seperti Mesir, Yunani, Nabatea, dan Funisia pernah meramaikan laut ini. Kisah pertemuan Nabi Khidir dan Musa A.S. konon terjadi di luat ini. Pertempuran demi pertempuran antar peradaban besar terjadi di di sini. Mediteria ibarat seuah jembatan yang menguhubungkan Timur dengan Barat. Persilangan kebudayaan dari peradaban Mesir  ke Yunani dan Romawi dan sebaliknya juga melalui laut ini.  Aku malah membayangkan berapa juta kapal dan kekayaaan yang tenggelam di dalamnya. Pasti sudah tidak terhitung.

Pada zaman peradaban Islam Mediterania seakan menjadi Danau Arab. Saat itu yang menjadi raja di Mediterania adalah kaum Muslimin. Bahkan daratan daratan yang ada di setiap tepi laut ini merupakan wilayah Islam. Mulai dari Andalusia (Spanyol), Sisilia (Italia), Sardinia, Malta, Yunani, dan Balkan di sisi Eropa hingga Maroko, Tunisia, Aljazair, Libiya, dan Mesir di sisi Afrika, dan Palestina, Suriah, Lebanon, hingga Turki di sisi Asia. Saat itu laut ini menjadi kabel yang membawa listrik yang menyalakan lampu-lampu peradaban di Eropa. Melaui laut inilah Islam menerangi Eropa berabad-abad silam dan menjadikannya bangun dari mimpi buruk.

Saat teman-temanku asyik berfoto ria, aku masih saja tertegun memandangi lautan luas nan bersejarah ini. Laut yang selama ini banyak disebut dalam buku-buku sejarah dunia. Laut yang melagenda. Laut yang mengantarkan pencerahan. Lautnya para nabi dan khalifah. Aku bersyukur bisa mengunjungi tempat ini. tempak yang secara pisik memang biasa. Bahkan pantai ini tidak lebih indah dibandingkan pantai Pangandaran di Jawa Barat. Apalagi jika disandingkan dengan Bali. Tapi pantai ini dan lautnya memiliki nilai yang tidak dimiliki laut lain. Nilai sejarah dan keagungan.

Matahari menyorotkan sinar keemasananya dari upuk barat, lalu sang laut memantulkannya. Hingga terjadi kobinasi warna yang maha indah. Warna yang hanya bisa dinikmati di sini. Di Bumi Para Nabi. Namun, ini tandanya sudah sore yang artinya malam akan segera menyapa. Artinya kami harus pulang. Kami tidak boleh ketingalan kereta. Tepat pukul 18:00 kereta tujuan Ismailiyah akan berangkat. Kami beranjak pulang setelah sebelumnya mengabadikan momen bersama ini dalam jepretan kamera.


[1] Di Mesir, biasanya satu ayam dibagi 4 potong.

Tinggalkan komentar